JUARA 1 LOMBA CERPEN

Ekspos Eksaltasi Ekspresimu 
Riyandi 
*** 
 Semua orang pasti punya rasa ingin tahu. Sebuah hal yang mendasar dan sederhana, namun mengikat seseorang untuk mendapatkan jawabannya. Bagi sebagian orang, rasa ini hanya sekadar penasaran; sebatas pertanyaan yang mencuat namun jawabannya bukanlah sebuah makanan yang mengenyangkan rasa ingin tahu. Mereka menganggap jawaban itu tidaklah penting, dalam garis bawah bukan urusannya. Padahal, jawaban-jawaban itulah yang mampu menembus batasan keingintahuan demi mencapai hal baru, ilmu baru, bahkan gaya baru yang mungkin saja mengubah hidup mereka. Setelah pencapaian tersebut, mereka dijajah rasa candu untuk mengeksplor sejauh mana batasan yang mampu mereka dobrak demi menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih maju terlepas dari positif atau negatifnya pandangan mereka. Sayangnya, itu tidak akan terjadi, karena rasa keingintahuan mereka hanya sekadar penasaran; sebatas pertanyaan yang mencuat namun jawabannya bukanlah lampu yang menerangi malam. Hal itu disebabkan karena keterbatasan segala hal, salah satunya adalah cumbuan rasa malas. 
 Bagi sebagian orang lainnya, rasa ingin tahu adalah sebuah misi yang menuntut hak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul karenanya. Mereka menganggap rasa ingin tahu adalah representasi dari rasa lapar. Jika terlalu lama tidak diberi makan, mereka akan terkena penyakit bahkan bisa menyebabkan kematian. Maka, mereka berjuang semampu yang mereka bisa, sekuat yang mereka bisa, selapar apa rasa ingin tahu mereka, untuk mendapatkan jawaban demi kelangsungan hidup mereka yang untungnya menjadikan mereka lebih baik. Rasa kenyangnya pun sangatlah memuaskan. Sebuah kesenangan yang bahkan terkadang mencapai klimaksnya. Namun, tak jarang pula mereka terlalu kekenyangan, dalam artian jawaban yang mereka dapatkan kurang memuaskan atau bahkan mengecewakan. Endra adalah salah satu dari orang-orang tersebut. 
 Sejak kecil, Endra selalu diselimuti rasa ingin tahu. Puluhan tanda tanya selalu berputar-putar di atas kepalanya bagai sebuah mahkota. Mulai dari hal kecil hingga hal besar, urusannya maupun bukan, rasa ingin tahu selalu menggerogoti dirinya, membuatnya merasa lapar setiap saat. Ia selalu menanyakan ini dan itu kepada orangtuanya, menanyakan itu dan ini kepada teman-temannya, bahkan menanyakan iniitu-dan-itu-ini kepada semua orang. Jawaban yang ia dapatkan pun sebagian besar menimbulkan kepuasan batin, sebuah eksaltasi yang membantunya bertahan hidup dengan pemikiran kritis. 
 Kini, Endra resmi menjadi mahasiswa. Rasa ingin tahunya semakin berkembang, semakin berbobot. Ia menggeluti sebuah blog website dengan memeluk tagar Ekspos_Eksaltasi_Ekspresimu. Sebuah situs yang membahas seputar fenomena yang terjadi di semesta ini. Kejadian-kejadian acak yang ia bahas selalu disertai dengan jawaban-jawaban legit yang ditelusurinya, pun pendapatnya pribadi mengenai kejadian terkait. Berkat kelihaiannya dalam memuaskan rasa ingin tahunya, situs tersebut ramai dinikmati oleh kalangan masyarakat. Para pembacanya selalu berdebat serta berkonspirasi di kolom komentar. 
 Tak sedikit pula yang membenci dengan situs yang Endra kembangkan. Orangorang tersebut memberi cap pada situs milik Endra sebagai ajang cari atensi, atau yang lebih beken disebut generasi masa kini sebagai panjat sosial, karena hal yang Endra liput dominan hal yang viral. Padahal, tujuan Endra membuat situs tersebut sebagai wadah pemikiran masyarakat luas, sebagai penerima pendapat masing-masing pribadi seseorang, sebagai cakupan kebebasan berekspresi semua orang. Bahkan, Endra sama sekali tidak pernah menyantumkan namanya dalam setiap unggahan, ia hanya menggunakan nama samaran anonymous. Mungkin itulah yang menyebabkan situs milik Endra diretas entah oleh siapa. Endra sendiri tidak terlalu paham dengan hal semacam itu, maka ia meminta bantuan temannya yang merupakan seorang IT. 
  “Makasih banyak ya, Den.” 
 Dengan sumringah, Endra kembali dapat mengakses situs miliknya berkat bantuan Deni. Deni menganggukkan kepalanya seraya menyambar rokok dan sebuah pemantik di atas meja seusai berkutat dengan laptop Endra. 
 “Berani taruhan, yang ngeretas situs kamu ini pasti tidak sejalan pemikirannya denganmu, Ndra. Dia tidak setuju dengan apapun kasus terakhir yang kamu bahas,” ucap Deni sembari menyulut sebatang rokok. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap dalam satu semburan panjang dari lubang hidungnya. Asap rokok itu mengepul kemana-mana hingga menyeruak penciuman Endra, membuatnya menahan napas dan terbatuk-batuk kecil. Ia mengerlingkan matanya, sebab asap rokok itu juga menerobos kantung matanya yang menggembung seperti balon yang diisi air. 
 “Hal yang terakhir aku bahas kayaknya permasalahan tentang isu hoaks yang disebarluaskan oleh akun Twitter dan halaman Facebook dengan nama BornGold. Belakangan ini postingan dari akun tersebut banyak dibagikan oleh pengguna Twitter dan Facebook, bahkan tak sedikit pula yang membagikannya ke platform lain. Isi dari postingannya memuat tentang kisruh terbunuhnya salah satu publik figur yang masih diusut oleh pihak berwajib. Padahal penyelidikan masih belum mendapatkan titik terang, jumpa pers pun entah kapan dilaksanakan, namun BornGold ini memublikasikan unggahan berisi asumsi pribadi yang dibuat seolah-olah fakta. Hal itu bisa menggiring opini publik pada pemikiran yang salah.” 
 Deni masih sibuk menyelipkan rokoknya yang tersisa hampir setengah batang ke dalam bibir pucatnya. Sesekali ia menganggukkan kepalanya sembari terfokus pada penuturan Endra yang masih berlanjut. 
 “Sebelum kasus ini, BornGold juga sering mengunggah hal-hal tanpa landasan yang benar, keraguan validasinya yang patut dipertanyakan. Namun, dari yang kulihat, para pembaca selalu percaya tanpa sama sekali tertampar rasa skeptis. Mereka terlalu haus akan kebenaran yang sebenarnya adalah kesalahpahaman. Tidak hanya haus, mereka seolah diserang dehidrasi. Di zaman milenial ini, hal itu sangatlah disayangkan, terutama bagi generasi muda di tengah gempuran kemajuan perkembangan teknologi yang pesat sekarang ini. Dalam media online, seharusnya kita tidak boleh menelan mentah-mentah akan pernyataan-pernyataan yang masih belum akurat. Sebenarnya, jika kita menyampaikan pendapat hanya sekadar untuk berdiskusi, itu merupakan hal yang bagus, malah menjadi hak kita sebagai kebebasan berekspresi. Namun, jika kita membuatnya seolah-olah fakta tanpa data-data yang valid, itulah yang membuat lalu lalang hoaks semakin berseliweran.” 
 “Kalau menurutmu, apa alasan yang membuat orang-orang tersebut menyebarkan hoaks?” timpal Deni tiba-tiba. 
 Endra terlihat berpikir sejenak, lalu ia menjawab, “Mungkin mereka menganggap kebebasan berekspresi dalam media sosial adalah tanpa batas dan sebebas-bebasnya. Padahal, media sosial sebagai ruang berekspresi juga memiliki aturannya tersendiri, yang mana tidak boleh merugikan diri sendiri apalagi orang lain,” 
 Sesaat, Endra tertawa pelan tanpa sebab. Deni mengernyitkan dahinya, sebelah alisnya terangkat sebagai rasa heran atas kekehan Endra. 
 “Ini sebenarnya terdengar konyol. Sedari kecil, aku menganggap rasa ingin tahu sebagai representasi dari rasa lapar. Katakanlah aku adalah salah satu orang yang menyebarkan hoaks. Atas kejadian apapun yang terjadi, aku ini lapar akan jawaban. Namun, aku hanya mencari makan seadanya. Misalnya aku hanya mencari makan apapun itu, lalu membagikannya pada orang lain. Ternyata, makanan itu basi, atau bahkan beracun. Dari situ, aku merugikan orang lain dan tentunya diriku sendiri. Nah, itu adalah pengandaian dari keterbatasan dalam mendapat jawaban. Tanpa validasi sumber data, aku menyebarkan hoaks untuk mendapatkan pengakuan sosial.” 
 Penjabaran Endra masih berlanjut hingga topik yang mereka bahas beralih jalur. Sepanjang percakapan mereka, Deni seolah merasa berpenyakit karena makanan yang ia santap hanya ala kadarnya. Parahnya lagi, ia membagikan makanan itu pada khalayak umum.  
 Atas rasa bersalah atau justru rasa malunya, Deni tidak berani untuk mengekspos perbuatannya, setidaknya kepada Endra. Rasa egois membalut hatinya, mengekang batinnya.  
 Semua orang pasti punya rasa bersalah. Sebuah hal yang mendasar dan sederhana, namun mengikat seseorang untuk mendapatkan permintaan maaf dari orang lain yang dirugikannya. Bagi sebagian pelaku, hal tersebut tidak sulit dilakukan. Bagi sebagian pelaku lainnya, hal tersebut bukanlah suatu kewajiban, sewajib kriminal yang harus dikurung di balik jeruji besi.  Deni adalah salah satu dari orang-orang tersebut. 
 Tiba saatnya bagi Endra untuk pamit. Sebelum kepergiannya, Deni memberi salam kepada sohibnya itu. Sebuah salam yang mungkin sebagai perwakilan permintaan maafnya. Ia mengepal tinju tangan kanannya, meninju udara kosong, lalu berseru: 
  “Ekspos eksaltasi ekspresemu!” 
  Endra tertawa sebelum akhirnya ia pamit pulang. 
 Seusai kepergian Endra, Deni buru-buru membuka laptopnya. Dengan tergesa, ia menghapus permanen akun kloningan Twitter serta halaman Facebook miliknya yang bernama BornGold. 
  Deni masih agak sedikit kaget. Ternyata, kemarin ia telah meretas situs sohibnya sendiri. 
 
*** 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LATIHAN DASAR KEPEMIMPINAN MAHASISWA FORMADIKIP 2022

PENANAMAN POHON DEPARTEMEN SOSIAL

Meriahnya Peringatan Hari Jadi Formadikip Unsika 2022